PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Manusia merupakan makhluk yang sangat menarik. Oleh karena
itu, manusia dan berbagai hal dalam dirinya sering menjadi perbincangan
diberbagai kalangan. Hampir semua lemabaga pendidikan tinggi mengkaji manusia,
karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan
tempat tinggalnya. Para ahli telah mencetuskan pengertian manusia sejak dahulu
kala, namun sampai saat ini belum ada kata sepakat tentang pengertian manusia
yang sebenarnya. Hal ini terbukti dari banyaknya sebutan untuk manusia,
misalnya homo sapien (manusia
berakal), homo economices (manusia
ekonomi) yang kadangkala disebut Economical
Animal (Binatang ekonomi), dan sebagainya.
Agama islam sebagai agama yang paling baik tidak pernah
menggolongkan manusia kedalam kelompok binatang. Hal ini berlaku selama manusia
itu mempergunakan akal pikiran dan semua karunia Allah SWT dalam hal-hal yang
diridhoi-Nya. Namun, jika manusia tidak mempergunakan semua karunia itu dengan
benar, maka derajad manusia akan turun, bahkan jauh lebih rendah dari seekor
binatang. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 179.
Manusia, Agama dan Islam merupakan masalah yang sangat
penting, karena ketiganya mempunyai pengaruh besar dalam pembinaan generasi
yang akan datang, yang tetap beriman kepada Allah dan tetap berpegang pada
nila-nilai spiritual yang sesuai dengan agama-agama samawi (agama yang datang
dari langit ataua gama wahyu).
Agama merupakan sarana yang menjamin kelapangan dada dalam
individu dan menumbuhkan ketenangan hati pemeluknya. Agama akan memelihara
manusia dari penyimpangan, kesalahan dan menjauhkannya dari tingkah laku yang
negatif. Bahkan agama akan membuat hati manusia menjadi jernih halus dan suci.
Disamping itu, agama juga merupakan benteng pertahanan bagi generasi muda
muslim dalam menghadapi berbagai aliran sesat.
Agama juga mempunyai peranan penting dalam pembinaan akidah
dan akhlak dan juga merupakan jalan untuk membina pribadi dan masyarakat yang
individu-individunya terikat oleh rasa persaudaraan, cinta kasih dan tolong
menolong.
Islam dengan berbagai ketentuannya dapat menjamin bagi orang
yang melaksanakan hukum-hukumnya akan mencapai tujuan yang tinggi. Sangat menariknya pembahasan tentang
manusia inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengulas sedikit tentang
Manusia Menurut Pandangan Islam.
1.2 Rumusan
masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang Manusia, Agama, dan
Islam, maka diperlukan subpokok bahasan
yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apa pengertian dan hakekat manusia menurut islam?
2.
Apakah dengan
beragama sebagai kebutuhan fitrah?
3.
Apa pengertian
dan bagaimana asal – usul agama?
4.
Apa saja agama
– agama besar di Indonesia?
5.
Bagaimana
penjelasan tentang misi islam?
6.
Apakah Islam
sebagai Rahmat bagi seluruh alam?
1.3 Tujuan
dan manfaat penulisan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas Materi PAI dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah.
Manfaat dari penulisan makalah ini
adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang manusia dalam
pandangan Islam
dan untuk membuat kita lebih memahami Islam.
1.4 Metode
Penulisan
Penulis memakai metode studi literatur dan kepustakaan dalam
penulisan makalah ini. Referensi makalah ini bersumber tidak hanya dari buku,
tetapi juga dari media media lain seperti e-book, web, blog, dan perangkat
media massa yang diambil dari internet.
1.5 Sistematika
Penulisan
Makalah ini disusun menjadi tiga
bab, yaitu bab pendahuluan, bab pembahasan, dan bab penutup. Adapun bab
pendahuluan terbagi atas : latar belakang, rumusan makalah, tujuan dan manfaat
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab
pembahasan dibagi berdasarkan subbab yang berkaitan dengan manusia dalam
pandangan islam serta fungsi dan tanggung jawab manusia dalam islam. Terakhir,
bab penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.
BAB II
MANUSIA, AGAMA, DAN ISLAM
A.
Pengertian Manusia dalam Alqur’an
Quraish Shihab mengutip dari Alexis
Carrel dalam “Man the Unknown”, bahwa banyak kesukaran yang dihadapi untuk
mengetahui hakikat manusia, karena keterbatasan-keterbatasan manusia sendiri.
Istilah kunci yang digunakan
Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan ann-nas.
Kata basyar disebut dalam Al-Qur’an 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian manusia sebagai makhluk biologis
(QS Ali ‘Imran [3]:47) tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis
manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain.
Kata al-insan dituturkan sampai 65 kali dalamAl-Qur’an yang dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama
al-insan dihubungkan dengan khalifah sebagai penanggung amanah (QS Al-Ahzab
[3]:72), kedua al-insan dihubungankan
dengan predisposisi negatif dalam diri manusia misalnya sifat keluh kesah,
kikir (QS Al-Ma’arij [70]:19-21) dan ketiga
al-insan dihubungkan dengan proses penciptaannya yang terdiri dari unsur
materi dan nonmateri (QS Al-Hijr [15]:28-29). Semua konteks al-insan ini menunjuk pada sifat-sifat
manusia psikologis dan spiritual.
Kata an-nas yang disebut sebanyak 240 dalam Al-Qur’an mengacu kepada
manusia sebagai makhluk sosial dengan karateristik tertentu misalnya mereka
mengaku beriman padahal sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah [2]:8)[1][1]
Dari uraian ketiga makna untuk
manusia tersebut, dapatdisimpulkan bahwa manusia adalah mahkluk
biologis,psikologis dan sosial. Ketiganya harus dikembangkan dan diperhatikan
hak maupun kewajibannya secara seimbang dan selalu berada dalam hukum-hukum
yang berlaku (sunnatullah).[2][2]
B.
Hakikat Manusia Menurut Al-Qur’an
Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci
dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang
menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan
melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari surga, tidak bisa dijadikan argumen
bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru
memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju
suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia
harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan
di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk
spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia
adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki
kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat
baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses
pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan
yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup
manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu
sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu
menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia
berkualitas mutaqqin di atas.
C.
Agama
Kata agama dalam bahasa Indonesia
berarti sama dengan “din” dalam
bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa Inggris “religion”. Dari arti bahasa (etimologi) agama berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun.
Sedangkan kata “din” menyandang arti
antara lain menguasai, memudahkan, patuh, utang, balasan atau kebiasaan.
Secara istilah (terminologi) agama,
seperti ditulisoleh Anshari bahwa walaupun agama, din, religion, masing-masing mempunyai arti etimologi
sendiri-sendiri, mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri, namun dalam
pengertian teknis terminologis ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang
sama, yaitu:
a.
Agama, din, religion adalah satu
sistem credo (tata keimanan atau tata
keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak diluar diri manusia.
b.
Agama juga adalah sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada
yang dianggapnya Maha Mutlak tersebut.
c. Di samping merupakan satu sistema credo dan satu sistema ritus, agama juga adalah satu sistem
norma (tata kaidah atau tata aturan) yang mengatur hubungan manusia sesama manusia
dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan termaktub diatas.
Menurut
Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan praktik yang dipersatukan yang
berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan
terhadap sesuatu yang Maha Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan bahwa agama
adalah pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan
pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan manusia
terhadap kekuatan gaib yang hebat.
Informasi mengenai potensi beragama
dimiliki manusia itu dapat dijumpai pada ayat al-Qur'an (surat al-A'raf ayat
172):
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي
آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
"Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".[3][3]
Syarat-Syarat Agama
a.
Percaya dengan adanya Tuhan.
b. Mempunyai kitab suci sebagai
pandangan hidup umat-umatnya.
c. Mempunyai tempat suci.
d. Mempunyai Nabi atau orang suci
sebagai panutan.
e. Mempunyai hari raya keagamaan
Unsur-Unsur Agama
Menurut Leight, Keller dan Calhoun,
agama terdiri dari beberapa unsur pokok:
1.
Kepercayaan agama, yakni suatu
prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.
2. Simbol agama, yakni identitas agama
yang dianut umatnya.
3. Praktik keagamaan, yakni hubungan
vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan
antarumat beragama sesuai dengan ajaran agam.
4. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai
bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
5. Umat beragama, yakni penganut
masing-masing agama.
Fungsi Agama
· Sumber pedoman hidup bagi individu
maupun kelompok.
· Mengatur tata cara hubungan manusia
dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
· Merupakan tuntutan tentang prinsip
benar atau salah.
· Pedoman mengungkapkan rasa
kebersamaan.
· Pedoman perasaan keyakinan.
· Pedoman keberadaan.
· Pengungkapan estetika (keindahan).
· Pedoman rekreasi dan hiburan.
· Memberikan identitas kepada manusia
sebagai umat dari suatu agama.[4][4]
Karakteristik
Agama
Karakteristik agama dalam kehidupan manusia seperti halnya
bangunan yang sempurna. Seperti dalam salah satu sabda nabi Muhammmad, bahwa beliau adalah penyempurna
bangunan agama tauhid yang telah dibawa oleh para nabi dan rosul sebelum
kedatangan beliau.
Layaknya sebuah bangunan agamapun harus memiliki rangka yang
kokoh, tegas, dan jelas. Rangka yang baik adalah rangka yang menguatkan
bangunan yang akan dibangun diatasnya. Memiliki ukuran yang simetris satu sama
lainnya. Komposisi bahan yang tepat karena berperan sebagai penopang. Oleh
sebab itu, kerangka harus memiliki luas yang cukup atau memiliki perbandingan
yang sesuai dengan bangunannnya. Itulah sebaik-baiknya agama dengan demikian
agama pada dasarnya berperan sebagai pedoman kehidupan manusia, untuk menjalani
kehidupannya dibumi.
Manusia akan kehilangan pedoman atau pegangan dalam
menjalani kehidupan di dunia bila tidak berpedoman pada agama. Dewasa ini agama
mengalami beralih dan berpedoman kepada akal logikanya. Padahal akal dan logika
manusia memiliki keterbatasan yaitu keterbatasan melihat masa depan. Sedangkan
agama telah disusun sedemikian rupa oleh sang pencipta agar menjadi pedoman
sepanjang hayat manusia. Akibat dari skularisme ini menimbulkan gaya hidup baru bagi kaum
muslim yakni gaya hidup hedomisme dan pragmatis.
D.
Fitrah
· Fitrah dalam arti tabiat alami
manusia. Manusia
lahir dengan membawa tabi’at (perwatakan) yang berbeda- beda. Watak tersebut
dapat berupa jiwa pada anak atau hati sanubari yang dapat mengantarkan untuk
sampai pada ma’rifatullah. Sebelum usia baligh, anak belum bisa membedakan
antara iman dan kafir, karena wujud fitrah terdapat dalam qalb yang dapat
mengantarkan pada pengenalan nilai kebenaran tanpa terhalang apa pun.
· Fitrah dalam arti Insting (Gharizah)
dan wahyu dari Allah (Al Munazalah)
Ibnu Taimiyah membagi fitrah dalam dua macam:
a.
Fitrah Al Munazalah
Fitrah luar yang masuk dalam diri
manusia. Fitrah ini dalam bentuk petunjuk al qur’an dan sunnah yang digunakan
sebagai kendali dan pembimbing bagi Fitrah Al Gharizahah.
b. Fitrah Al Gharizah
Fitrah inheren dalam diri manusia
yang memberi daya akal yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
Fitrah berarti kesucian, terdapat dalam sebuah hadis yang
berbunyi, "Setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Orang
tuanyalah yang kemudian menjadikan dia seorang Yahudi, Nasrani, maupun
Majusi" (H.R. Bukhari Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Imam Malik, Imam
Hambali).
Fitrah berarti agama yang benar, yakni agama Allah dikaitkan
dengan kata fitrah dalam surat Ar-Rum ayat 30. ”Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Ar
Rum:30)
Fitrah manusia dan nilai-nilai luhur yang bersumber darinya,
mendapat perhatian agama-agama ilahi khususnya agama Islam. Pada realitanya
fitrah dan agama, keduanya bersumber dari satu mata air iaitu dari Allah swt
dan yang menunjukkan kepada manusia jalan kebahagiaan yang sebenarnya. Agama
Islam sebagai agama terakhir menyodorkan program yang lengkap untuk kebahagiaan
manusia di dunia dan akhirat. Ajaran ini telah ditetapkan oleh Tuhan dan
mencakup semua manusia. Allah tidak memiliki kepentingan apapun dengan
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Allah Swt. berfirman: Lâ tabdîla li khalqillâh (tidak
ada perubahan atas fitrah Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Said
bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillâh
maksudnya adalah li dînillâh. Kata fithrah sepadan dengan kata al-khilqah.
Jika fitrah dalam ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dîn Allâh, maka kata khalq
Allâh pun demikian, bisa dimaknai dîn Allâh.
Allah Swt. memberitakan, tidak ada perubahan bagi agama yang
diciptakan-Nya untuk manusia. Jika Allah Swt. tidak mengubah agamanya,
selayaknya manusia pun tidak mengubah agama-Nya atau menggantikannya dengan
agama lain. Oleh karena itu, menurut sebagian mufassir, sekalipun berbentuk khabar
nafî (berita yang menafikan), kalimat ini memberikan makna thalab nahî
(tuntutan untuk meninggalkan). Dengan demikian, frasa tersebut dapat diartikan:
Janganlah kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan kemusyrikan;janganlah
mengubah fitrahmu yang asli dengan mengikuti setan dan penyesatannya; dan
kembalilah pada agama fitrah, yakni agama Islam.
Memeluk Islam sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Secara
tersirat, ayat ini menegaskan akan realitas tersebut. Para mufassir menafsirkan
kata fithrah Allâh dengan kecenderungan pada akidah tauhid dan Islam, bahkan
Islam itu sendiri. Selain ayat ini, kesesuaian Islam dengan fitrah manusia juga
dapat terlihat pada beberapa fakta berikut:
o
Pertama: adanya gharîzah at-tadayyun (naluri beragama) pada diri
setiap manusia sehingga ia bisa merasakan dirinya lemah dan ringkih. Ia
membutuhkan Zat Yang Maha Agung, yang berhak untuk disembah dan dimintai
pertolongan. Karenanya, manusia membutuhkan agama yang menuntun dirinya
melakukan penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar.
o
Kedua: dengan akal yang diberikan Allah Swt. pada diri setiap manusia,
ia mampu memastikan adanya Tuhan, Pencipta alam semesta. Sebab, keberadaan alam
semesta yang lemah, terbatas, serba kurang, dan saling membutuhkan pasti
merupakan makhluk. Hal itu memastikan adanya al-Khâliq yang
menciptakannya. Dengan demikian, kebutuhan manusia pada agama, selain didorong
oleh gharîzah at-tadayyun, juga oleh kesimpulan akal.
Lebih jauh, akal manusia juga mampu memilah dan memilih
akidah dan agama yang benar. Akidah batil akan dengan mudah diketahui dan
dibantah oleh akal manusia. Sebaliknya, argumentasi akidah yang haq pasti tak
terbantahkan sehingga memuaskan akal manusia. Oleh karena itu, secara fitri manusia membutuhkan akidah dan
agama yang haq, agama yang menenteramkan perasaan sekaligus memuaskan akal.
Islamlah satu-satunya yang haq. Islam dapat memenuhi dahaga naluri beragama
manusia dengan benar sehingga menenteramkannya. Islam juga memuaskan akalnya
dengan argumentasi-argumentasinya yang kokoh dan tak terbantahkan. Dengan
demikian, Islam benar-benar sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia. Karena
begitu sesuainya, az-Zamakhsyari dan an-Nasafi menyatakan, “Seandainya
seseorang meninggalkan Islam, mereka tidak akan bisa memilih selain Islam
sebagai agamanya.”
Kesesuaian fitrah manusia dengan Islam juga dijelaskan dalam
dalil-dalil naqli. Allah
Swt. berfirman:
[شَهِدْنَا بَلَى
قَالُوْا بِرَبِّكُمْ أَلَسْتُ أَنْفُسِهِمْ عَلَى وَأَشْهَدَهُمْ ظُهُوْرِهِمْ
مِنْ آدَمَ بَنِيْ مِنْ رَبُّكَ خَذَأَوَإِذْ]
Ingatlah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi.” (QS al-A‘raf [7]: 172)[5][5]
Allah Swt. juga berfirman di dalam hadis qudsi:
«وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ
أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ»
Sesungguhnya
aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya dan
sesungguhnya mereka didatangi setan, lalu setan itu membelokkan mereka dari
agama mereka. (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
« يُمَجِّسَانِهِ أَوْ وَيُنَصِّرَانِهِ يُهَوِّدَانِهِ
فَأَبَوَاهُ الْفِطْرَةِ عَلَى يُولَدُ إِلاَّ
مَوْلُودٍ مِنْ مَا »
Tidak
ada seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua
orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).
Kedua hadis di atas menjelaskan tentang kondisi awal setiap
manusia. Dalam hadis pertama disebutkan, setiap manusia diciptakan dalam
keadaan hanîf, yakni lurus dan tidak condong pada kesesatan. Adapun dalam hadis
kedua dinyatakan, setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun fitrah
yang dimaksudkan di sini adalah pengakuan terhadap Allah Swt.
Hadis pertama di atas menjelaskan, penyimpangan manusia dari
fitrahnya disebabkan oleh bujuk rayu setan. Hadis kedua menjelaskan, pendidikan
yang salah dari orangtua merekalah yang menjadi faktor penyebab keluarnya
manusia dari fitrahnya.
Makna Islam
Secara
etimologis, kata “islam” berasal dari tiga akar kata, yaitu:
-
Aslama artinya berserah diri atau tunduk patuh, yakni berserah
diri atau tunduk patuh pada aturan-aturan hidup yang ditetapkan oleh Allah Swt.
-
Salam artinya damai atau kedamaian, yakni menciptakan rasa damai
dalam hidup (kedamaian jiwa atau ruh).
-
Salamah artinya keselamatan, yakni menempuh jalan yang selamat
dengan mengamalkan aturan-aturan hidup yang ditetapkan oleh Allah Swt.
Adapun
secara terminologis, Islam adalah agama yang diturunkan dari Allah Swt kepada
umat manusia melalui penutup para Nabi (Nabi Muhammad saw).
E. MISI ISLAM
Terdapat sejumlah argumentasi yang dapat digunakan untuk
menyatakan misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, yaitu:
Pertama, dapat dilihat dari pengertian atau
makna asli dari islam itu sendiri yaitu masuk dalam perdamaian, dan orang
muslim adalah orang yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia. Berdamai
dengan Allah artinya berserah diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya, dan damai
dengan manusia bukan saja berarti menyingkiri berbuat jahat dan sewenang-wenang
kepada sesamanya.
Kedua, misi ajaran islam sebagai pembawa
rahmat dapat dilihat dari peran yang dimainkan islam dalam menangani berbagai
problematika agama, social, ekonomi , politik, hukum, pendidikan kebudayaan,
dan sebagainya.
Dalam
keadaan umat manusia yang kacau balau Nabi Muhammad datang membawa ajaran islam
yang didalamnya bukan hanya mengandung ajaran akidah atau hubungan manusia
dengan Tuhannya saja, melainkan juga hubungan dengan sesama manusia dan alam
semesta.
Dari
sejak kelahirannya Islam sudah memiliki komitmen dan respon yang tinggi untuk
ikut serta dalam memecahkan berabagai masalah tersebut diatas. Hal-hal yang
demikian itu dapat dikemukakan sebgai berikut:
· Dalam bidang sosial, Islam memperkenalkan ajaran
yang bersifat egaliter atau kesetaraan dan kesederajatan antara manusia dengan
manusia lain. Satu dan lannya sama makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan
segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Orang yang memilki kelebihan
dalam bidang tertentu misalnya ia memiliki kekurangan dalam bidang tertentu
lainnya. Orang yang memiliki kekurangan dalam bidang tertentu, tetepi memiliki
kelebihan dalam bidang lainnya. Kelebihan yang dimiliki yang satu digunakan
untuk menutupi kekurangan yang satunya lagi. Demikian seterusnya.Kelebihan yang
dimiliki oleh seseorang bukan untuk memeras yang lain. Orang berkulit putih
tidaklah lebih mulia dari yang berkulit hitam, dan orang yang berkulit hitam
tidaklah lebih rendah dari yang berkulit putih. Yang paling mulia disisi Allah
adalah yang paling bertakwa, sebagaimana dalam surat Al-Hujurat, 49:13.
Demikian pula dalam sebuah hadis Nabi menyatakan:
“Tidak ada kelebihan bagi orang
arab atas orang yag bukan arab, dan orang yang berkulit puti atas orang yang
berkulit hitam, kecuali siapa diantara mereka yang peling bertakwa.” (HR.
Muslim)
· Misi Islam sebagai pembawa rahmat
bagi seluruh alam dapat dilihat dari ajaran dalam bidang ekonomi yang
bersendikan asas keseimbangan dan pemerataan. Selain itu misi dalam bidang
ekonomi ini dapat dilihat pula dari perintah berdagang dengan cara yang jujur.
Sebaimana disebutkan dalan surat Al-Isra, 17:35. Lebih lanjut ajaran Islam
sangat melarang keras melakukan praktik riba, atau membungakan uang yang
menguntungkan secara berlipat ganda, tanpa memperhitungkan kemampuan orang yang
meminjamnya. Praktik riba inj sangat dilarang dalam islam sebagaimana yang dinyatakan dalam surat
Ali Imran ,3:130.
· Dalam bidang poitik terlihat dari
perintah Al-qur’an agar seorang pemerintah bersikap adil, bijaksana terhadap
rakyat yang dipimpinnya, memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat yang
dipimpinnya,mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingannya sendiri,
melindungi dan mengayomi rakyat, membrikan keamanan dan ketentraman kepada
masyarakat. sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa, 4:58.
· Dalam bidang hukum yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam surat
An-Nisa, 4:58. Ayat tersebut memerintahkan seorang hakim agar berlaku adil dan
bijaksana dalam memutuskan perkara dengan tidak memandang adanya perbedaan pada
orang yang sedang berperkara.
· Dalam bidang pendidikan dapat dilihat
dari ajaran islam yang memberikan kepada manusia hak-haknya dalam bidang
pendidikan. Berdasarkan uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa misi utama
ajaran islam adalah membawa rahmat bagi seluruh umat manusia dengan cara menata
aspek kehidupan social, ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan sebagainya.
Ketiga, misi islam dapat pula dilihat dari
misi ajaran yang dibawa dan dipraktikan oleh Nabi Shallallahu alahi Wa sallam.
Hal ini disebutkan dengan tegas dalam surat Al-Anbiya ayat ke 10, dan juga
terlihat dalam praktik kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam
yang dikenal dengan seorang yang sayang dengan umatnya dan kepada manusia
umumnya.
Keempat, misi Islam dapat dilihat pula pada
kedudukannya sebagai sumber nilai dan pandangan hidup manusia. Dalam hal ini
Islam telah memainkan empat peran sebagi berikut. Pertama sebagai faktor
kreatif, yaitu ajaran agama yang mendorng manusia melakukan kerja produktif dan
kreatif. Kedua, faktor motifatif, yaitu bahwa ajaran agama dapat melandasi
cita-cita dan amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya. Ketiga,
faktor sublimatif, yakni ajaran agama yang dapat meningkatkan dan mengkuduskan
fenomena kegiatan manusia tidak hanya hal keagamaan saja, tetapi juga yang
bersifat keduniaan. Keempat, faktor integrative, yaitu ajaran agama dapat
mempersatukan sikap dan pandangan manusia serta aktifitasnya baik secara
indifidual maupun kolektif dalam menghadapi berbagai tantangan.
Kelima, misi ajaran islam dapat dilihat
pula dari peran yang dimainkannya dalam sejarah. Sebagaimana tercatat dalam
sejarah bahwa islam diabad klasik(Abad 7 sd 13 Masehi) atau lebih kurang 7 abad
telah tampil sebagai pengawal sejarah umat manusia menuju kehidupan yang
tertib, aman, damai, sejahtera, maju dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan,
dan peradaban. Peran kesejarahan umat islam tersebut masih dapat dlilihat
dinegara-negara dimana Islam pernah melakukan perannya itu, seperti diirak,
Bukhara, Turkistan, Turki, Spanyol, India, Mesir, dan lain sebagainya.
Pengaruh
ilmu pengetahuan, peradaban dan kejayaan islam lainnya terhadap eropa merupakan
bukti bahwa islam secara faktualtelah berperan secara signifikan bagi
kemanusiaan secara universal. Keadaan sekarang ini mungkin sudah terbalik.
Eropa lebih maju dari Islam dalam ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Keenam, misi ajaran Islam lebih lanjut
dapat dilihat pula dari praktek hubungan Islam dengan penganut agama lain,
sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam diMadinah. Fakta
sejarah membuktikan bahwa yang pertama dilakukan Nabi diMadinah adalah menjali
hubungan yang harmonis dengan seluruh komponen masyarakat yang ada diMadinah
melalui apa yang dalam sejarah dikenal sebagai Mitsaq al-Madinah atau Piagam
Madinah. Dari penelitian terhadap Piagam Madinah ditemukan sejumlah prinsip
tentang hak asasi manusiadan politik pemerintahan. Teks piagam tersebut
menyatakan bahwa atas dasar ajaran Al-qur’an, kemanusiaan dan ikatan social ,
disamping orang-orang muslim mukmin sebagai satu umat atas dasar agama dan
keyakinan, kaum yahudi dan sekutunya juga merupakan umat bersama orang-orang
Mukmin.
F.
ISLAM SEBAGAI
AGAMA RAHMATAN LIL ALAMIN
وَما
أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
Artinya : “ Dan tidaklah
Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmatan bagi semesta alam ”.
Tugas Nabi Muhammad adalah membawa rahmat
bagi sekalian alam, maka itu pulalah risalah agama yang dibawanya. Tegasnya,
risalah Islam ialah mendatangkan rahmat buat seluruh alam. Lawan daripada
rahmat ialah bencan dan malapetaka. Maka jika dirumuskan ke dalam bentuk
kalimat yang menggunakan kata peniadaan, kita lalu mendapat pengertian baru
tapi lebih tegas bahwa islam itu “bukan bencana alam”. Dengan demikian
kehadiran Islam di alam ini bukan untuk bencana dan malapetaka, tetapi untuk
keselamatan, untuk kesejahteraan dan untuk kebahagiaan manusia lahir dan batin,
baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam masyarakat.
Islam itu ibarat Ratu Adil yang menjadi tumpuan harapan manusia. Ia harus
mengangkat manusia dari kehinaan menjadi mulia, menunjuki manusia yang tersesat
jalan. Membebaskan manusia dari semua macam kezhaliman, melepaskan manusia dari
rantai perbudakan, memerdekakan manusia dari kemiskinan rohani dan materi, dan
sebagainya. Tugas Islam memberikan dunia hari depan yang cerah dan penuh
harapan. Manusia akhirnya merasakan nikmat dan bahagia karena Islam.
Kebenaran risalah Islam sebagai rahmat bagi manusia, terletak pada kesempurnaan
Islam itu sendiri. Islam adalah dalam satu kesatuan ajaran, ajaran yang satu
dengan yang lainnya mempunyai nisbat dan hubungan yang saling berkait. Maka
Islam dapat kita lihat serempak dalam tiga segi yaitu aqidah, syari’ah dan
nizam.
Dalam memperlakukan non muslim (Ahli
Dzimmah) mereka mendapatkan hak seperti yang didapatkan oleh kaum Muslimin,
kecuali pada perkara-perkara yang terbatas dan perkecualian. Sebagaimana halnya
juga mereka dikenakan kewajiban seperti yang dikenakan terhadap kaum Muslimin.
Kecuali pada apa-apa yang diperkecualikan. Ialah hak memperoleh perlindungan
yaitu melindungi mereka dari segala permusuhan eksternal. Ijma’ Ulama umat
Islam terjadi dalam hal ini seperti yang diriwayatkan Abu Daud dan Al-Baihaqi
“Siapa-siapa yang menzhalimi kafir mu’ahad atau mengurangi haknya, atau
membebaninya di luar kesanggupannya, atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa
kerelaannya, maka akulah yang menjadi seterunya pada hari Kiamat (HR. Abu
Daud dan Al-Baihaqi)
Kemudian melindungi darah dan badan
mereka, melindungi harta mereka, menjaga kehormatan mereka, memberikan jaminan
sosial ketika dalam keadaan lemah, kebebasan beragama, kebebasan bekerja,
berusaha dan menjadi pejabat, inilah beberapa contoh dan saksi-saksi yang
dicatat sejarah mengenai sikap kaum Muslimin dan pengaruhnya terhadap Ahli
Dzimmah.
BAB III
KESIMPULAN
Memeluk Islam sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Secara
tersirat, ayat ini menegaskan akan realitas tersebut. Para mufassir menafsirkan
kata fithrah Allâh dengan kecenderungan pada akidah tauhid dan Islam, bahkan
Islam itu sendiri. Selain ayat ini, kesesuaian Islam dengan fitrah manusia juga
dapat terlihat pada beberapa fakta berikut:
o
Pertama: adanya gharîzah at-tadayyun (naluri beragama) pada diri
setiap manusia sehingga ia bisa merasakan dirinya lemah dan ringkih. Ia
membutuhkan Zat Yang Maha Agung, yang berhak untuk disembah dan dimintai
pertolongan. Karenanya, manusia membutuhkan agama yang menuntun dirinya
melakukan penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar.
o
Kedua: dengan akal yang diberikan Allah Swt. pada diri setiap manusia,
ia mampu memastikan adanya Tuhan, Pencipta alam semesta. Sebab, keberadaan alam
semesta yang lemah, terbatas, serba kurang, dan saling membutuhkan pasti
merupakan makhluk. Hal itu memastikan adanya al-Khâliq yang
menciptakannya. Dengan demikian, kebutuhan manusia pada agama, selain didorong
oleh gharîzah at-tadayyun, juga oleh kesimpulan akal.
Lebih jauh, akal manusia juga mampu memilah dan memilih
akidah dan agama yang benar. Akidah batil akan dengan mudah diketahui dan
dibantah oleh akal manusia. Sebaliknya, argumentasi akidah yang haq pasti tak
terbantahkan sehingga memuaskan akal manusia. Oleh karena itu, secara fitri manusia membutuhkan akidah dan
agama yang haq, agama yang menenteramkan perasaan sekaligus memuaskan akal.
Islamlah satu-satunya yang haq. Islam dapat memenuhi dahaga naluri beragama
manusia dengan benar sehingga menenteramkannya. Islam juga memuaskan akalnya
dengan argumentasi-argumentasinya yang kokoh dan tak terbantahkan. Dengan
demikian, Islam benar-benar sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia. Karena begitu
sesuainya, az-Zamakhsyari dan an-Nasafi menyatakan, “Seandainya seseorang
meninggalkan Islam, mereka tidak akan bisa memilih selain Islam sebagai
agamanya.”
Kesesuaian fitrah manusia dengan Islam juga dijelaskan dalam
dalil-dalil naqli. Allah
Swt. berfirman:
[شَهِدْنَا بَلَى
قَالُوْا بِرَبِّكُمْ أَلَسْتُ أَنْفُسِهِمْ عَلَى وَأَشْهَدَهُمْ ظُهُوْرِهِمْ
مِنْ آدَمَ بَنِيْ مِنْ رَبُّكَ خَذَأَوَإِذْ]
Ingatlah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi.” (QS al-A‘raf [7]: 172)
Allah Swt. juga berfirman di dalam hadis qudsi:
«وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ
أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ»
Sesungguhnya
aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya dan
sesungguhnya mereka didatangi setan, lalu setan itu membelokkan mereka dari
agama mereka. (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
« يُمَجِّسَانِهِ أَوْ وَيُنَصِّرَانِهِ يُهَوِّدَانِهِ
فَأَبَوَاهُ الْفِطْرَةِ عَلَى يُولَدُ إِلاَّ
مَوْلُودٍ مِنْ مَا »
Tidak
ada seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua
orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).
SARAN
Kita adalah sebaik-baiknya makhluk
ciptaan Allah. Kita mempunyai bentuk yang sempurna, mempunyai fikiran dan akal. Seharusnya kita
sebagai manusia yang berakal baik, kita menjaga dan melestarikan sumber daya
yang kita miliki. Selain itu tak lupa kita tetap belajar dan menuntut ilmu demi
kemajuan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Supadie, Didiek, dkk. Pengantar Studi Islam.2011.(Jakarta: Rajawali Pers).
Al Quran
Terjemahan Ali Imran Penerbit Bintang Indonesia.
Ali
hasan,Islam Membangun PeradapanDunia,(Jakarta:pustakajaya).1998
Bahi, Muhammad, Pemikiran Islam dan
Perkembangannya.Jakarta:Risalah,1995.
Drs.Hasanuddin. Sejarah kebudayaan
islam . 1994.Tohaputra.
Hailkal, Husain, Sejarah
Hidup Muhammad, (terj).(Jakarta:literaAntarNusa,1992)cet.13
Maulana Muhammad
Ali, Islamologi ( Dinul Islam ) ( Jakarta: Ikhstiar Baru-vaHouve,
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya ,Jilid I , ( Jakarta :UI
Press,1997),hlm 9.
Prof. Dr. H.M. Syukur, Amin, MA.Pengantar Studi Islam.2010.(Semarang:Pustaka Nuun).
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam
UPI, 2009, Islam Tuntunan dan Pedoman Hidup, Value Press, Bandung.
www.google.com
0 comments: